JAKARTA – Ketua Komisi Hubungan Antar-Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo mengajak petinggi media massa untuk melawan indikasi pelanggaran hak cipta yang kerap dipraktikkan sejumlah perusahaan seperti Google, Amazon hingga Facebook.
Seruan itu menyusul isu publisher right (hak pengelola media) di dunia jurnalistik yang menurut dia semakin mengkhawatirkan. Penggunaan data milik perusahaan media tanpa izin berkaitan dengan publisher right, kian banyak terjadi.
Padahal, menurut Agus, praktik itu tergolong pelanggaran hak cipta. Dia juga menyinggung soal penguasaan lebih dari separuh dari total belanja iklan global oleh ketiga perusahaan dunia tersebut akibat praktik itu.
“Background dari publisher right ini adalah landscape industri media secara global yang sampai tahun 2020 kira-kira gambarannya seperti ini, yang di mana 56 persen dari belanja iklan global itu hanya dikuasai tiga perusahaan saja google, facebook dan amazon,” kata Agus saat menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Konvensi Nasional Media Massa HPN 2021 yang digelar secara daring, Senin (08/02/2021).
Padahal lanjut Agus, publisher right merupakan hak pengelola media terkait proses agregasi privat untuk mengatur dan mereduksi monopoli dari platform digital. Tapi justru pengumpulan data justru dilakukan oleh platform digital baik melalui mesin pencari ataupun media sosial.
Untuk melawan indikasi pelanggaran terkait hak cipta tersebut, Agus mengajak pelibatan seluruh media massa. Pemerintah menurut dia, juga mesti ikut turun tangan untuk memastikan tiga perusahaan besar tersebut tak melakukan monopoli berlebih berkaitan dengan publisher rights.
“Media massa harus menghadapi mereka dengan kolektif. Termasuk intervensi negara juga dibutuhkan, bukan untuk melawan, tapi untuk membuat google dan facebook itu tidak melakukan monopoli pemusatan ekonomi yang berlebihan,” beber Agus.
Di sisi lain, Pemilik sekaligus Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo–atau dikenal Hary Tanoe–meminta Dewan Pers terlibat memperjuangkan hak perusahaan media berkaitan dengan data dan pembagian pendapatan (revenue sharing).
Tanoe menilai tanpa campur tangan Dewan Pers atau lembaga sejenis, perjuangan para pengusaha media untuk mengupayakan agar konten dan karya jurnalistik tak disadur tanpa izin, tidak akan menemukan titik temu.
“Tentunya ya paling tidak, minimal kita harus perjuangkan adalah revenue dan data sharing itulah perspektif saya, ini harus diperjuangkan bersama-sama melalui fasilitator bisa Dewan Pers atau ASMI tidak mungkin publisher itu berjuang sendiri-sendiri, tidak mungkin, nanti malah bisa tidak mencapai sasarannya,” kata Hary Tanoe.
Saat ini kata Tanoe, penjiplakan konten jurnalistik yang seolah dinormalisasi sangat mudah ditemukan. Pelanggaran berkaitan dengan publishers right melalui mesin pencari atau search engine ini pun menjamur.
Padahal dia menuturkan, data tersebut mestinya tak bisa digunakan sembarangan jika tak ada kerja sama antara pengguna dengan pemilik data. Tentunya, lanjut Tanoe, hal tersebut bisa masuk kategori pelanggaran hak cipta.
“Agregasi oleh platform asing dalam bentuk apapun oleh search engine atau agregator biasa atas konten milik publisher para online lokal, tentunya harus berijin atau tentunya harus ada kesepakatan oleh para pihak,” ucap Tanoe.
Hal itu bahkan kata Tanoe diatur dalam produk hukum Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Karena kalau tanpa izin secara hukum yang apalagi kalau itu dikomersialkan dan mendapatkan pendapatan iklan itu bisa masuk kategori pelanggaran hak cipta,” kata Hary Tanoe lagi. (CNNIndonesia)
Discussion about this post