BANDA ACEH – Para pakar hukum tata negara di Aceh menyatakan dasar hukum untuk pelaksanaan Pilkada Serentak di Aceh pada tahun 2022, sudah sangat kuat mengacu pada Pasal 65-72 UUPA Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Permasalahannya, pejabat legislatif dan eksekutif di Aceh dinilai kurang kompak dalam melakukan komunikasi dan lobi politik ke pusat terkait Pilkada itu.
Demikian salah satu pandangan para pakar hukum tata negara di Aceh yang hadir dalam pertemuan dengan DPRA terkait pelaksanaan Pilkada Serentak di Aceh tahun 2022. Hadir pada kesempatan itu Zainal Abidin SH MSi, Kurniawan SH MSi, Mukhlis Muktar SH, Prof Djamaluddin, ahli hukum perdata, dan lainnya.
Zainal Abidin menyatakan, aturan Pilkada dalam UUPA diatur secara khusus dan rinci, yang mana dilaksanakan lima tahun sekali oleh KIP Aceh dan Panwaslih bersama Pemerintah Aceh/Pemerintah Kabupaten/Kota.
Menurutnya, dasar hukum Pilkada Aceh serentak pada tahun 2022 tidak perlu diperdebatkan lagi. “Pusat juga mengetahui isi pasal tersebut, dimana penyelenggaraan Pilkada Aceh dilakukan dalam masa periode lima tahun sekali,” ujarnya, Rabu (18/02/2021)
Dikatakan, untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat serta marwah dari UUPA itu, lembaga eksekutif dan legislatif di Aceh menurutnya harus kompak dan bangun komunikasi politik yang sehat dengan pusat. “Lakukan lobi-lobi politik yang lebih cerdas dan brilian lagi, sehingga usulan Pilkada serentak di Aceh cepat direspons,” jelasnya.
Sementara Mukhlis Muktar menyebut legislatif dan eksekutif di Aceh kurang up date dan kurang peka terhadap perkembangan RUU yang ada di DPR RI.
Menanggapi berbagai saran dan tanggapan dari pakar hukum yang diundang, Ketua DPRA Dahlan Jamalauddin mengatakan, DPRA perlu menyusun strategi kembali serta mengadakan lobi dan komunikasi politik kembali dengan pusat.
(Parlementaria)
Discussion about this post