BANDA ACEH – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Ir Mahdinur MM menyatakan dukacita yang mendalam atas meninggalnya empat warga Kecamatan Mane, Pidie, karena tertimbun reruntuhan tanah longsor saat mendulang emas pada hari Sabtu (10/07/2021).
Namun, Kadis ESDM Aceh merasa perlu untuk menegaskan bahwa penambangan emas tanpa izin (Peti) tersebut berada dalam kawasan hutan lindung. Artinya, kawasan yang sebenarnya terlarang melakukan aktivitas pertambangan.
“Perlu kami sampaikan bahwa lokasi kejadian tersebut berada di kawasan Pegunungan Alue Empeuk, Gampong Bangkeh, Kecamatan Geumpang, Pidie. Masyarakat mencari emas pada bekas lubang yang pernah digali oleh masyarakat sebelumnya,” kata Mahdinur, Selasa (13/7/2021).
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dinas ESDM Aceh, lanjut Mahdinur, lokasi tersebut merupakan jalur potensi mineral emas (Au) porfiri dan telah dilakukan eksplorasi oleh beberapa perusahaan tambang emas sejak tahun 1997.
“Masyarakat di sekitar wilayah Geumpang, Tangse, dan Mane telah lama melakukan kegiatan penambangan emas tanpa izin di kawasan itu,” ujar Mahdinur.
Hingga saat ini, terdapat satu perusahaan yang memiliki izin melakukan eksplorasi di kawasan tersebut, yakni kontrak karya (KK) di atas nama PT Woyla Aceh Minerals yang diterbitkan oleh pemerintah pusat untuk emas.
Luas wilayah eksplorasinya lebih dari 24.000 hektare (ha) saat ini dalam status penangguhan (penundaan kegiatan karena belum memperoleh Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung).
Luasan Wilayah pertambangan tanpa izin di lokasi tersebut, kata Mahdinur, diperkirakan sekitar 850 ha, dengan jumlah penambang mencapai 2.000 orang.
Pada umumnya mereka melakukan metode penambangan glory hole/manual dan mekanis (menggunakan alat berat), dengan sistem pengolahan amalgamasi/air raksa.
Sejak tahun 2010 hingga 2021, tercatat 43 orang sudah penambang Peti yang meninggal dan 57 orang lagi mengalami cacat/sakit akibat melakukan penambangan tanpa izin di wilayah Aceh.
Ia menyebutkan, total luas wilayah Peti di Aceh mencapai 1.270 ha dengan jumlah penambang emas tanpa izin sebanyak 5.544 orang yang tersebar di enam kabupaten (Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah).
Dengan mempertimbangkan permasalahan faktual di bidang sosial, ekonomi, hukum, dan politik, maka penanggulangan masalah Peti ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan seiring dengan ditegakkannya supremasi hukum.
“Artinya, kepentingan masyarakat dapat diakomodasikan secara proporsional tanpa prinsip-prinsip prinsip pertambangan yang baik dan benar,” ujarnya.
Kadis ESDM Aceh ini mengemukakan beberapa solusi penertiban Peti di Aceh yang dapat dicapai. Antara lain, para pelaku tambang tanpa izin yang berada di Lingkungan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) diarahkan untuk berpartisipasi dengan perusahaan tambang pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Sedangkan pelaku tambang tanpa izin yang berada di kawasan hutan lindung ditertibkan untuk dihentikan,” imbuh Mahdinur.
Solusi lainnya yang ia tawarkan adalah memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah (BUMD) setempat untuk diterbitkan izin pada wilayah yang dilakukan tanpa izin di luar kawasan hutan lindung, sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, kata Mahdinur, perlu dilakukan upaya memutus rantai peredaran merkuri pada lokasi penambangan di Aceh.
“Menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) oleh Menteri ESDM melalui Wilayah Pertambangan (WP) Pulau Sumatera, sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku, itu juga salah satu solusi,” ujarnya.
Di akhir pembicaraannya dengan Serambinews.com, Mahdinur mengingat bahwa kegiatan penambangan tanpa izin dapat menimbulkan banyak dampak dan kerugian jangka panjang.
Misalnya, kerusakan lingkungan hidup, risiko kecelakaan tambang yang tinggi, iklim investasi yang kondusif, hukum dan kerawanan sosial, serta penerimaan negara/daerah dari sektor pertambangan.
“Oleh karenanya, Pemerintah Aceh mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kegiatan tersebut dan diharapkan kejadian serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang,” demikian Kepala Dinas ESDM Aceh. (Adv)
Discussion about this post