Internasional | Setelah ribuan tentara Amerika Serikat meninggalkan Afghanistan karena tak mampu melawan Taliban, ini kondisi negara tersebut mulai kacau. Pemerintah Afghanistan tidak mampu melawan Taliban yang kini dilaporkan telah menguasai 85 persen wilayah.
Terbaru, seorang warga bernama Sohail Pardis, warga Afghanistan yang menjadi penerjemah tentara Amerika, kabarnya juga dipenggal oleh Taliban. Seperti dikutip CNNIndonesia, insiden itu terjadi pada 12 Mei 2021 lalu.
Ketika Pardis sedang mengemudi dari rumahnya di Kabul ke Provinsi Khost untuk menjemput saudarinya menjelang Lebaran. Kendaraannya dicegat di pos pemeriksaan Taliban di tengah padang pasir.
Penduduk desa bersaksi bahwa Taliban menembak mobilnya sebelum berbelok dan berhenti. Pardis kemudian diseret keluar dan dipenggal. Pardis sendiri bekerja sebagai penerjemah selama 16 bulan untuk AS.
Pada tahun 2012, ia terpaksa berhenti bekerja karena gagal dalam tes poligraf rutin. Tes poligraf atau tes kebohongan biasanya digunakan untuk izin keamanan saat hendak mengakses pangkalan AS di Afghanistan. Pardis tidak pernah tahu alasan dirinya gagal dalam tes.
Dalam perbincangan dengan CNN, saudara laki-laki Pardis mengonfirmasi kabar kepergian itu. Kini, ia terpaksa merawat putri Pardis yang masih berusia sembilan tahun.
Dia pun ingin meninggalkan Kabul, kota tempat tinggal mereka, karena terus diliputi ketakutan keluarganya bakal jadi sasaran berikutnya. “Saya sangat khawatir dengan keselamatan keluarga saya. Namun, banyak tugas di negara ini dan situasi keamanannya sangat buruk,” ujar Sahak.
Beberapa hari sebelum dipenggal, Pardis sempat bercerita kepada Abdulhaq Ayoubi, teman dan rekan kerjanya, bahwa dirinya keluarganya mendapat ancaman pembunuhan dari Taliban.
“Mereka mengatakan kepadanya bahwa Anda adalah mata-mata Amerika. Anda adalah mata Amerika dan Anda kafir, dan kami akan membunuh Anda dan keluarga Anda,” ujar Ayoubi.
Di sisi lain, para warga Afghanistan yang bekerja untuk pasukan asing justru mengaku hidup dalam ketakutan dan ancaman dari Taliban. “Kami tidak bisa bernapas di sini. Taliban tidak memiliki belas kasihan terhadap kami,” ujar Ayoubi.(**).
Discussion about this post