BANDA ACEH – Pemerintah Aceh melalui PT PEMA memiliki saham sebesar 51 persen atau terbesar, dalam perusahaan PT Pema Global Energi (PGE) yang mengambil alih operasional eksploitasi produksi pengelolaan sumur migas Blok B, di Aceh Utara, dari Pertamina Hulu Energi (PHE).
“Selain Pemerintah Aceh yang memiliki saham di PGE, masih ada satu persen lagi diberikan kepada Pemko Lhokseumawe, melalui perusahaan daerah. Sisanya 48 persen, dimiliki oleh PT Energi Mega Persada, anak perusahaannya Bakry Group,” ungkap Kepala Dinas ESDM Aceh, Mahdinur, Minggu (25/07/2021).
Pengambilalihan lanjutan operasi eksploitasi pengelolaan sumur migas Blok B dari PHE kepada PGE, menurutnya, berjalan lancar dan sejak 18 Mei 2021 lalu, kegiatan manajemen operasional pengelolaan sumur migas Blok B sudah dikendalikan PT PGE.
Lancarnya pengambilalihan operasional pengelolaan sumur migas Blok B, kata Mahdinur, berkat kesabaran dan kecerdasan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, yang didukung BPMA, DPRA, dan lembaga serta intansi tehnis terkait lainnya, dalam mengikuti tahapan proses pengalihan lanjutan operasional pengelolaan sumur migas Block B peninggalan Mobil Oil, setelah masa perizinannya habis, kemudian dikelola sementara oleh PHE, sebelum diserahkan kepada Pemerintah Aceh.
Kabupaten Aceh Utara, kata Mahdinur, belum diberikan saham, karena pada saat pembentukan perusahaan PGE, yang akan mengelola sumur migas Blok B, beberapa bulan lalu, Aceh Utara belum miliki PT. Namun begitu Pemkab Aceh Utara akan diberikan Partisipating Interest (PI) sebesar 10 persen dan dalam UU Pertambangan Migas, hal itu dibolehkan.
Pengalihan operasional pengelolaan Blok B itu, tambahnya, merupakan babak baru bagi Pemerintah Aceh memulai kegiatan usaha industri migas melalui PT PEMA. Kewenangan kekhususan pengelolaan migas yang diberikan pemerintah pusat melalui UUPA itu, kata Mahdinur, sudah dimulai lewat kegiatan usaha melanjutkan pengelolaan sumur migas Blok B.
“Setelah kita sukses mengelola sumur Blok B dengan baik dan profesional, maka bila ada sumur migas lain yang ditinggalkan atau sudah habis masa izinnya, tapi masih produktif, bisa kita lanjutkan operasional eksploitasi produksinya,” tandas Mahdinur.
Sementara itu, Ketua Komisi B DPRA, Irpannusir mengatakan, pusat sudah mengakui Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan khususan dalam penerbitan izin bahan tambang mineral dan batu bara. Hal itu berdasarkan UUPA Nomor 11 tahun 2006 dan PP Nomor 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh.
Dengan demikian, katanya, Pemerintah Aceh perlu membuat regulasi/qanun kawasan tambang rakyat dan menata serta mengevaluasi, mengawasi secara ketat pelaksanaan tambang bahan mineral dan batu bara, yang telah diberi izin, terutama terhadap ancaman kerusakan lingkungan dan pencemarannya.
Perusahaan tambang mineral dan batu bara, yang sedang beroperasi produksi, diwajibkan memenuhi penataan lingkungan secara baik. Agar pascakegiatan tambang tidak meninggalkan kerusakan lingkungan, yang akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat sekitar. (Adv)
Discussion about this post