Banda Aceh | Krue Seumangat Berkibarnya bendera Bulan Bintang di Aceh sangat tergantung niat dan spirit Pemerintah Aceh. Mengapa Demikian! Karena secara regulasi, Qanun bendera telah melalui preses pembahasan hingga pengesahan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Itu artinya Qanun tersebut sudah menjadi tanggungjawab Pemerintah Aceh.
“Kapan jalan bendera ini, ketika ada gubernur yang punya komitmen kuat terhadap bendera itu. Kalau tidak, ya tidak akan pernah bisa dinaikkan bendera. Kuncinya di Pergub,” tegas Jubir Partai Aceh Nurzahri ST pada media ini beberapa hari lalu.
Menurut Nurzahri dibeberapa pertemuan, sebenarnya DPR Aceh telah mendorong agar Pemerintah Aceh membuat Pergub, dimana sebuah Qanun supaya bisa dijalankan harus ada perintah lain yaitu Pergub.
“Harus Peraturan tehnis agar ini bila jalan, sampai hari ini Gubernur tidak pernah mengaluarkan Pergub baik masa Zaini, Irwandi hingga sekarang Nova,” ungkap Nurzahri.
Dimana Pergub itu berkaitan dengan prasarana dan sarana, terutama tiang bendera karena tidak boleh dipasang pada tiang bendera merah putih. Sampai sekarang ini yang punya dua tiang bendera hanya di DPR Aceh sementara di SKPA lain tidak ada.
“Karena tidak ada Pergub maka tidak dianggarkan untuk bangun tiang bendera, andaikan ada bendera juga tidak boleh dinaikkan karena tiang bendera merah putih tidak boleh dinaikkan bendera lain,” ungkapnya.
Itu sebabnya, Nurzahri melihat Pemerintah Aceh tidak menunjukkan spirit yang sama ketika setuju qanun itu dibentuk. Sementara DPR Aceh dalam hal ini hanya sebagai pembuat peraturan bukan pelaksana.
“Hari ini bertambah lagi kasus, pada 2018 bahwa Mendagri mengklaim bahwa Qanun itu telah dibatalkan secara sepihak. Kita tak pernah tahu kapan dibatalkan dan bagaimana makanisme pembatalan”.
“Dokumen pembatalan juga tidak pernah sampai ke kita. Mereka katakan sudah kirim surat ke DPR Aceh, kita cek tak tidak ada di Pemerintah Aceh juga tidak ada,” ungkapnya.
Nurzahri menilai jika betul Qanun bendera telah dibatlkan secara sepihak oleh mendagri maka telah terjadi pelanggaran Undang-undang karena mekanisme pembatalan hanya ada dua, pertama pemerintah pusat punya waktu 60 hari sejak Qanun diundangkan kemudian melalui pengadilan atau MA.
“Seharusnya Pemerintah Aceh menggungat, karena mereka punya anggaran tapi sampai sekarang tidak dilakukan,” ujar Politisi Partai Aceh itu.
Nurzahri mengulang kisah pengesahan Qanun bendera yang dilaksankan pada 2013 silam. Qanun tersebut lahir dari butir MoU Helsingki antara Gam dengan pemerintah RI 15 Agusuts 2006.
Dalam pembuatan qanun tersebut Nurzahri mengaku telah melakukan pembasahasan melalui proses pembentukan qanun bendera yang semestinya, karena ketika ditanyakan pada pemerintah pusat, Aceh diizinkan memiliki bendera.
“Draf bentuk awal dari GAM dan kita bawa RDPU dibuat di Dayan Daud karena banyak yang hadir ruangan ngak cukup. Dari 25 penanggap, 23 penanggap mendukung sedangkan Pemkab Nagan Raya dan Aceh Tengah mengusulkan penambahan saja pada prinsifnya setuju. Kemudian kita konsultasi ke pusat baru kita bawa pulang untuk kita paripurnakan. Belakangan menjadi polemik setelah kita paripurnakan,” ungkapnya.
Nurzahri mengakui memang ada dimana pada 2007 atau satu tahun pasca UUPA disahkana dikeluarkan PP Nomor 77 tentang bendera dan lambang daerah. PP ini lahir berdasakan UUPA dan UU.
Didalam PP ini dituliskan bendera dan lambang daerah pada prinsifnya tidak boleh sama dengan lambang separatis dan lebih detail tidak boleh dengan bendera bintang Kejora di Papua dan Bendera Benang Raja di Malaku dan Bulan Sabit di Aceh.
“Yang dilarang di Aceh hanya bendera bulan sabit, sehingga ketika kita telaah secara yuridis formalnya tidak bententangan antara bendera Bulan Sabit dengan Bendera Bulan Bintang. Karena memang jauh berbeda. Kita tidak tahu yang dimaksudkan Bulan Sabit di PP itu seperti apa karena tidak ada bentuk,” ungkap mantan Anggota DPR Aceh itu.
Maka dari itu Nurzahri beranggapan bahwa bendera bintang bulan tidak melanggar. Inilah pemahaman yang diberikan pada pemerintah pusat kitikan pertemuan di Batam ketika itu.
“Setalah pengesahan qanun masyarakat menaikkan bendera, TNI dan Polri panik. Pada waktu itu mengingat dilapangan ada antusias masyarakat menaikkan bendera secara sporadis menaikkan tanpa aturan di Qanun, jelas ada mekanismenya bagaimana menaikkan bendera. Ada aturan semua,” ungkapnya.
Sambung Nurzahri TNI dan Polri ketika itu mengambil tidakan untuk menurunkan secara sepihak sehingga terjadi bentrok di lapangan, makanya mempertibangkan seluruh situasi dan untuk mendinginkan suasana diambilkan keputusan Calling Down.
“Supaya tidak terjadi bentrok dilapangan dan dinaikkan sesuai dengan aturan yang tersebut dalam Qanun. Dan itu perintah lisan. Semua pihak jangan menaikkan bendera dulu sampai situasi kondusif. Namun, sampai hari ini itu masih Calling Down,” ungkapnya.
Discussion about this post