Banda Aceh – Ketua DPR Aceh, Saiful Bahri (Pon Yaya) didampingi anggota DPRA, Tarmizi SP serta Kabag Persidangan dan Perundang-Undangan Khudri dalam kegiatan cofee morning pada Jum’at (27/5/2022).
Qanun tentang bendera dan lambang Aceh telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sejak tahun 2016 lalu.
Hal itu disampaikan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tarmizi, SP dalam kegiatan cofee morning dengan awak media pada Jum’at pagi.
“Saat itu ketua DPRA bersama KPA menemui Mendagri Tito Karnavian dan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muazani pada awal-awal Ketua DPRA dilantik, Tujuan kita untuk memperjelas bendera dan lambang Aceh sebagaimana hasil perjanjian MoU Helsinki,” ujarnya.
Kepada DPRA, kata Tarmizi, Kemendagri mengatakan aturan tentang bendera Aceh tersebut telah dibatalkan pada tahun 2016 silam, ketika Mendagri dijabat oleh Tjahjo Kumolo, tahun terakhir weweng Kemendagri dalam membatalkan Peraturan Daerah (Perda).
“Mereka mengatakan kalau aturan bendera Aceh ini telah dibatalkan pada 2016 lalu. Mendengar hal ini, Ketua DPRA langsung meminta bukti fisik pembatalan tersebut. Namun mereka tidak dapat memberikannya,” jelas Tarmizi.
“Oleh Mendagri memohon untuk tidak mempermalahkan lagi yang sudah-sudah, dan meminta untuk mencari win-win solution pada masalah ini. Win-win solution dari pemerintah pusat akan diadakan lagi pertemuan dengan para pimpinan Aceh untuk membahas lebih masalah tersebut,” sambungnya.
Sementara itu Ketua DPRA, Saiful Bahri (Pon Yaya) mengatakan, alasan Kemendagri membatalkan bendera Aceh tersebut karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah.
“Kami sanggah, yang dimaksud dalam PP Nomor 77 tahun 2007 itu tentang lambang daerah seperti bulan sabit di Aceh. Sedangkan yang disahkan DPRA itu bulan bintang. Kami katakan, rubah PP dulu kalau mau hantam bendera Aceh,” tegas Pon Yaya.
“Pembatalan ini tidak diketahui oleh DPRA, lagi pula mekanisme pembatalan produk daerah Mendagri itu paling lama 2 x 30 hari. Tapi selepas dari 60 hari, itu sudah wewenang Mahkamah Agung,” ungkapnya.
Namun demikian, Ketua DPRA mengaku akan memperjuangkan qanun bendera Aceh tersebut hingga selesai sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki. Tutupnya.
Parlementarial
Discussion about this post