BANDA ACEH – Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Dr EMK Alidar SAg Mhum mengatakan bahwa Revisi Qanun Aceh tentang Jinayat sebenarnya sudah didorong sejak tahun 2020. Hanya saja, dorongan Revisi Qanun Jinayat pada waktu itu berakhir mengendor karena hadirnya dua surat edaran dari Mahkamah Agung dan dari Kejaksaan Agung.
“Akhir-akhir ini dengan adanya dorongan dari organisasi dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akhirnya Revisi Qanun Jinayat disepakati oleh eksekutif dan legislatif. Dan Revisi Qanun Jinayat ini menjadi usul inisiatif DPR Aceh,” EMK Alidar kepada media ini, Rabu (01/12/2022).
“Alhamdulillah sudah ada pengkajian beberapa Pasal. Kalau tidak salah saya ada 12 Pasal yang dilakukan revisi. Salah satunya terkait dengan perlindungan korban kekerasan seksual yang notabenenya banyak dialami anak-anak,” ujarnya.
Di sisi lain, Kepala DSI Aceh itu, dalam Revisi Qanun Jinayat tersebut juga terjadi peningkatan akumulatif uqubat. Jika kemarin hukuman bagi pelaku adalah penjara atau cambuk (dipilih salah satu), di draft revisi terbaru hukumannya ditambah dan tidak ada lagi penyebutan “Atau” untuk Pasal hukuman bagi si pelaku.
“Dari penjara 200 bulan dinaikkan menjadi 250 bulan. Kemudian tidak ada lagi kalimat ‘Atau’. Kalimat yang dipakai kemarin ‘Ditambah’ penjara maksimal 250 bulan, ‘Ditambah’ hukuman cambuk 50 kali, dan ‘Ditambah’ denda,” jelasnya.
Kemudian pada kesempatan tersebut, Kepala DSI Aceh itu menyebutkan bahwa Revisi Qanun Jinayat akan rampung Ahkir tahun 2022.
“Di minggu kedua Desember ini insyaallah akan selesai fasilitasi dengan tim Kemendagri. Kemudian nanti akan diparipurnakan di DPR Aceh untuk kemudian disahkan menjadi qanun,” tutupnya. (P/H)
Discussion about this post