Ketua Komisi I DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky. Foto: ist.
Banda Aceh – Sikap Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP) terkait aduan dugaan pelanggaran etik penyelenggara Pemilu oleh Ketua dan Anggota Bawaslu RI yang diadukan oleh Ketua Komisi I DPR Aceh dengan aduan Nomor 01-5/SET-02/IV/2023 tertanggal 5 April 2023, aneh.
Heran Makin Banyaknya Konser, DPR Aceh Sebut Bertentangan dengan Syariat Islam
BWS Sumatera I Diminta Segera Tangani Tanggul Sungai Ambruk di Nagan Raya
Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi I DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky. Menurutnya, dalam surat yang diteken Sekretaris DKPP Yudia Ramli, disebutkan, bahwa hasil verifikasi material pengaduan Nomor 01-5/SET-02/IV/2023, dilaksanakan tanggal 3 Mei 2023, bahwa pengaduan dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Dengan alasan, dalil pengadu terkait Ketua dan Anggota Bawaslu RI membentuk Tim Seleksi Calon Anggota Panwaslih Aceh dinilai menyangkut sengketa wewenang antar Lembaga menjadi kompetensi absolut lembaga lain yang berwenang menyelesaikan sengketa antar lembaga, bukan kompetensi obsolut DKPP.
Kemudian, kata Iskandar, DKPP menyebutkan, bahwa dalil aduan pengadu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 17, ayat (3a) huruf b Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Ber-acara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
“Kita perlu merespon surat yang disampaikan oleh DKPP dan ini aneh sekali,” kata Iskandar, dalam keterangan tertulis, yang di kutip Ramol.id Senin, 29 Mei 2023.
Selain itu, Iskandar menilai DKPP telah mengabaikan prinsip kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam pasal 7 ayat (2) huruf b Jo Pasal 8 ayat (2) UU nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan yang menyatakan, bahwa setiap pemerintahan wajib mematuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Badan dan pejabat pemerintahan dalam menggunakan wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan,” ujar dia.
Dalam surat balasan sanggahan ke DKPP, kata dia, dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, huruf c, pasal 7 ayat (3), pasal 11, pasal 19 huruf a peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum mengingatkan kepada penyelenggara pemilu begitu pentingnya kepastian hukum dalam penyeleanggara pemilu.
Kemudian, Iskandar juga mencamtumkan, berdasarkan pasal 557 ayat (1) UU N0 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, sangat tegas menyatakan, penyelenggara pemilu di Aceh adalah KIP Provinsi Aceh, KIP Kabupaten/kota dan Panwaslih Provinsi Aceh, Panwaslih Kabupaten/kota. KIP dan Panwaslih dimaksud, menurut pasal 557 ayat (2) UU N0 7 Tahun 2017 pengaturannya termasuk rekrutmen disesuaikan dengan pasal 557 ayat (2) tersebut.
Akan tetapi, kata dia, ketika pasal 557 ayat (2) UU N0 7 Tahun 2017 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh putusan MK N0 61/PUU-XV/2017, maka KIP dan Panwaslih dibentuk/direkrut sesuai dengan Pasal 56 ayat (4), ayat (5) dan pasal 60 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
“Jika DKPP bertindak atau membuat keputusan sesuai dengan pasal 7 ayat (2) huruf b Jo pasal 8 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014, maka DKPP harus menyatakan, bahwa Bawaslu RI telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 6 ayat (3) huruf a, huruf c, pasal 7 ayat (3), pasal 11, pasal 19 huruf a peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017, dan tidak justeru menyatakan sebagai sengketa kewenangan,” sebut Al-Farlaky.
Iskandar Al-Farlaky mencontohkan, banyak penyelenggara pemilu diberhentikan karena terkait kasus narkoba dan politik uang, nota benenya perkara rezim hukum pidana (yang bersangkutan dihukum pidana, dihukum pula telah melakukan pelanggaran etik).
Seandainya, kata dia, dalam perkara aquo DKPP menilai sebagai sengketa kewenangan, seharusnya paralel dengan perkara pidana DKPP dapat menghukum Bawaslu RI telah melakukan pelanggaran etik.
“Kita menolak sikap DKPP. Perihal ini akan juga kami laporkan ke Presiden dan DPR RI,” Pungkas dia.
Discussion about this post