Jakarta – Israel masih terus melancarkan kampanye militernya di Gaza, Palestina. Ini dilakukan untuk melumpuhkan milisi penguasa wilayah itu, Hamas, dan juga membebaskan sandera yang diculik kelompok bersenjata itu dari wilayah Selatan Israel pada 7 Oktober lalu.
Meski begitu, serangan militer Israel tak jarang justru membunuh warganya sendiri yang masih disandera. Terbaru, tiga orang warga Israel yang disandera Hamas tewas dalam sebuah serangan yang dilancarkan Tel Aviv.
Dalam sebuah paparan di Al Jazeera yang ditulis Zoran Kusovac, seorang mantan jenderal Amerika Serikat (AS) memaparkan bahwa tewasnya warga Israel oleh tentaranya sendiri menunjukan kurangnya pemahaman soal medan perang.
“Hal ini mencakup kurangnya pelatihan yang tepat untuk membedakan antara kombatan dan nonkombatan, secara terang-terangan mengabaikan nyawa pihak yang dianggap musuh dan menunjukkan niat untuk menyerah, dan stres pertempuran yang ekstrem tanpa dukungan psikologis bagi prajurit yang lelah berperang,” tulis laporan itu dikutip Jumat (22/12/2023).
Faktor-faktor lain yang mungkin terjadi termasuk pengabaian oleh komando yang lebih tinggi terhadap kondisi di medan perang dan kegagalan untuk merotasi unit-unit yang mungkin terlibat dalam pertempuran sengit. Selain itu, kegagalan rantai komando atau penunjukan komandan yang sifatnya tidak layak juga mungkin berkontribusi dalam kejadian ini.
“Selain Hamas, militer Israel jelas memiliki masalah yang harus diselesaikan di jajarannya. Pada saat yang sama, nampaknya tidak yakin seberapa besar mereka dapat mengandalkan dukungan dari Perdana Menteri mereka.”
“Ada tanda-tanda bahwa banyak pejabat tinggi tidak mempercayai Benjamin Netanyahu dan lebih memilih seseorang yang lebih menghormati militer dibandingkan tujuan politiknya sendiri,” tambah laporan itu.
Sementara itu, terkait korban jiwa yang telah menembus angka 20.000 jiwa, mantan jenderal itu mengakui saat ini Israel terlibat dalam perang kota melawan Hamas. Perang ini memang sangat sulit dilakukan, dengan korban kolateral dari pihak sipil yang bisa saja jatuh karena terjebak pertempuran.
Kematian sembilan tentara Israel dalam satu insiden di Shujayea pada 12 Desember adalah contoh yang menggambarkan peringatan sang jenderal. Dua perwira dan dua tentara dari Brigade Golani, salah satu unit tentara Israel yang paling berpengalaman, disergap oleh pejuang Brigade Qassam ketika mereka memasuki sebuah gedung.
Israel mengakui bahwa 50% bom yang digunakan adalah bom gravitasi atau dumb bomb. Mereka hanya dapat dibidik dengan mengarahkan pesawat sebelum dilepaskan dan dapat menyimpang 50 hingga 100 meter (164-328 kaki) dari titik bidiknya.
“Dalam pelatihan, seorang prajurit mempelajari apa yang harus dilakukan, katakanlah sebuah granat tangan, dan berapa jarak mematikannya. Namun sebelum dia melemparkan beberapa granat dari satu ruangan ke ruangan lain, dia tidak dapat membayangkan kekuatan ledakan atau jarak yang akan dihasilkan oleh granat tersebut,” pungkasnya.
Sumber : CnbcIndonesia
Discussion about this post