Banda Aceh, – Ketua Umum Bentara Muda Aceh, Rozi Ananda, menyampaikan pandangan tajam mengenai kebuntuan langkah politik Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem), yang kian terasa pasca kemenangannya bersama Wakil Gubernur, Dek Fad.
Menurutnya, carut marut dinamika politik Aceh periode 2025–2030 adalah “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak, lantaran ketiadaan sosok sentral penjamin sekaligus penetral di tengah pusaran konflik kepentingan.
Situasi ini menjadi paradoks. Di satu sisi, Partai Aceh—yang diketuai Mualem—menguasai eksekutif dan legislatif.
Namun di sisi lain, stabilitas politik justru semakin rapuh. Alih-alih mengonsolidasikan kekuatan, arah kebijakan pemerintahan Aceh kini cenderung tendensius.
Para suksesor, mitra koalisi, hingga jaringan relawan yang dulu solid mengusung kemenangan, kini ditinggalkan tanpa kepastian dalam proses pembangunan.
Rozi menilai ada “bayangan besar” yang terlalu dominan, menggerakkan dinamika pemerintahan ke arah yang tidak harmonis.
“Ketiadaan sosok sentral yang mampu menertibkan dan menyeimbangkan kepentingan adalah akar kebuntuan. Jika dibiarkan, ini bukan hanya soal politik internal, tapi akan berdampak pada stagnasi pembangunan Aceh,” ungkapnya.
Sejarah politik Aceh pasca-perdamaian memperlihatkan pentingnya figur penjamin.
Sosok semacam mediator yang bisa menjadi jembatan antara elit partai, koalisi, hingga elemen masyarakat sipil.
Absennya figur ini dalam lingkar kekuasaan Mualem-Dek Fad membuat dinamika kekuasaan lebih rawan gesekan.
Politik Aceh saat ini ibarat kapal besar yang berlayar dengan nakhoda kuat, tapi tanpa navigator yang paham peta.
Koalisi pemenangan yang dulu penuh optimisme, kini menghadapi kebuntuan dalam membagi peran dan arah.
Banyak pihak yang merasa teralienasi karena keputusan politik lebih dipengaruhi lingkar sempit yang cenderung eksklusif.
Kebuntuan inilah yang disebut Rozi sebagai bom waktu. Ketegangan internal yang terus dipelihara tanpa penyelesaian strategis berpotensi memicu ledakan politik.
Bila dibiarkan, kegaduhan bisa bertransformasi menjadi krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan Aceh.
Padahal, modal politik yang dimiliki Partai Aceh saat ini adalah yang terbesar pasca MoU Helsinki.
Menguasai kursi gubernur dan mayoritas parlemen seharusnya memberi ruang untuk stabilitas dan akselerasi pembangunan.
Namun justru yang terlihat adalah tarik-menarik kepentingan, yang makin memperlebar jarak antara visi kampanye dan realitas di lapangan.
Dalam situasi ini, langkah strategis sangat dibutuhkan. Pertama, kehadiran sosok sentral—baik dari dalam maupun luar lingkar kekuasaan—yang dapat berfungsi sebagai penyeimbang.
Kedua, konsolidasi ulang koalisi pemenangan agar tidak tercerai-berai oleh ego sektoral.
Ketiga, reposisi kepemimpinan yang lebih inklusif, di mana setiap kebijakan mampu merefleksikan kepentingan kolektif, bukan hanya bayangan dominan segelintir pihak.
Jika langkah ini tidak segera ditempuh, Aceh berpotensi kembali masuk ke pusaran kegaduhan politik yang kontraproduktif terhadap pembangunan.
Politik yang sejatinya menjadi instrumen perubahan, justru bisa berubah menjadi jerat stagnasi.
Kehilangan sosok sentral dalam tubuh kekuasaan Mualem-Dek Fad, kini menjadi pertaruhan besar bagi arah politik Aceh lima tahun ke depan.






Discussion about this post